Kamis, 16 Juli 2009

PENGARUH KEKERASAN MEDIA TELEVISI TERHADAP PSIKOLOGI PERKEMBANGAN PERILAKU DAN KENAKALAN REMAJA



1. Perumusan Masalah

a) media televisi

Televisi telah menjadi sumber umum primer sosialisasi dan informasi sehari-hari dari populasi yang heterogen. Namun, berbeda dengan media lain, televisi menyediakan sebuah set pilihan terbatas untuk bermacam interes dan publik yang tidak terbatas. televisi merupakan salah satu media komunikasi massa yang mempunyai fungsi yaitu; memberi informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi (Onong, 1992). tetapi sangat di sayangkan, televisi lebih mengutamakan fungsi menghibur daripada fungsi yang lainnya.

Pengaruh televisi terhadap khalayak sudah banyak yang mengetahui melalui berbagai penelitian yang dilakukan para ahli. penelitian tentang pengaruh televisi pada khalayak salah satunya dilakukan oleh Gabner.

Dari beberapa teori dan penelitian, bisa dibayangkan dampak yang akan terjadi di masyarakat Indonesia jika acara yang ditonton sebagian besar tentang kekerasan, pornografi, dll. walaupun banyak ahli mengatakan bahwa khalayak selektif terhadap pesan dari media massa (televisi), juga faktor pendidikan, budaya, dan lingkungan tempat tinggal lebih berpengaruh daripada tayangan televisi, tetapi jika kita kaitkan dengan situasi di Indonesia yang sebagian besar penduduknya hidup di daerah terpencil, pendidikan masih rendah, kontrol sosial yang kecil, maka sepertinya dampak negatif yang akan lebih berpengaruh daripada dampak positifnya. belum lagi menjamurnya tayangan TV bernuansa porno/semi porno dan situs-situs porno di internet.

Semua itu berdampak langsung bagi psikis remaja kita saat ini. Lihat saja anak-anak muda pengguna narkoba meningkat, perkosaan hampir tiap hari meminta korban, remaja-remaja SMP dan SMA yang kebobolan dan kasus-kasus penyimpangan yang lainnya.

Semua itu rupanya belum membuat masyarakat sadar bahwa kebebasan pers yang dibuka pemerintah membawa dampak yang sangat luas, yaitu runtuhnya nilai-nilai moral dan agama dikalangan masyarakat Indonesia yang terlena oleh kebebasan, termasuk kebebasan berperilaku yang mengabaikan rasa malu.

Pers bebas rupanya telah disalahartikan, bahkan oleh insan pers itu sendiri. pers bebas berarti boleh menampilkan foto-foto wanita atau pria berbusana minim, nyaris bugil, memuat cerita-cerita yang membangkitkan nafsu birahi dan gambar atau film yang mempertontonkan hubungan sex secara vulgar.

Bila kita lihat perkembangan media yang secara besar-besaran menampilkan hal-hal yang berbau kekerasan dan pornografi akhir-akhir ini tentu akan lebih jelas bila kita tinjau dari dua aspek yang melatarbelakangi masalah tersebut, yaitu:

1) Aspek Ekonomi.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat, menjadikan industri media semakin menuju ke arah money oriented, karena biaya produksi yang makin tinggi. Seperti dikatakan Murdock dan Golding (1991) dalam “for Political Economy of Mass Communications” bahwa “tumbuhnya media ke skala industri-pengenalan teknologi baru dan produksi massa, menjadikan tingginya tingkat kebutuhan dukungan financial yang lebih besar”. karena jika perusahaan media tersebut ingin tetap eksis maka keuntungan materi harus tetap diperjuangkan.

Dallas Smithe dalam tulisannya mengatakan bahwa “media sebagai produser tidak hanya ditempatkan pada komoditas hiburan, tetapi audien itupun juga dapat ditempatkan pada posisi yang sama”.

Audien sebagai komoditas dijual ke pengiklan. audien menghasilkan nilai surplus bagi pengiklan dengan menggunakan waktu yang audien miliki untuk mengkonsumsi iklan dan dalam konsumsi itu dipakai untuk menawarkan dan menjual komoditas lainnya (Boyd-Barrett, 1995).

Terpakunya para pengiklan pada rating acara, menjadikan perusahaan media menampilkan acara yang disukai khalayak (yang berating tinggi), walaupun kriteria rating itu sendiri masih perlu dipertanyakan. karena berdasarkan rating acara mistik, porno, dan kekerasan menempati posisi yang tinggi maka merekapun berlomba menyuguhkan acara-acara tersebut.

Kita semua tahu bahwa sesuatu yang tergolong pornografi, mistik, dan kekerasan mempunyai nilai jual tinggi. semua kalangan baik pengusaha, mahasiswa, sopir bis, abang becak, ibu rumah tangga mengkonsumsi media tersebut. Lihat saja mulai dari film kartun, gossiptainment, sinetron yang menjual mimpi, berita kriminal yang dikemas mirip film biru (adegan rekonstruksi yang sangat vulgar), acara reality show yang sudah tidak murni lagi atau sudah di bumbui skenario, sinetron mistis yang berkedok keagamaan, musik lokal dan luar negeri yang lirik dan video klipnya vulgar dan tak senonoh, dan masih banyak acara sejenis yang terlalu banyak untuk disebutkan, semua laku keras dipasaran. artinya bisnis tersebut terutama pornografi merupakan kegiatan yang sangat menguntungkan, film porno, gambar porno, foto porno, kartun porno, humor porno, dan semua yang berbau porno merajalela sebagai komoditas ekonomi.

2) Kebebasan pers

Kebebasan pers yang baru diberlakukan oleh pemerintah setelah sekian lama dibelenggu oleh rezim orde baru, tapi sayangnya kebebasan tersebut tidak digunakan untuk hal-hal yang positif ( sebagai kontrol pada pemerintah dan penguasa, penegakan demokrasi, penegakan hukum dan keadilan), tetapi digunakan untuk hal-hal yang tidak bertanggungjawab.walaupun sudah di atur dalam Undang-Undang pornografi dan pornoaksi.

b) Remaja

Dari pengaruh-pengaruh negatif media televisi tersebut, berkembanglah pola-pola pergaulan remaja saat ini.

1. Ciri-Ciri Masa Remaja yakni:

a. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke peralihan masa dewasa.

b. Masa remaja sebagai periode perubahan.

c. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas.

e. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, karena masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri.

f. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

g. Ciri-ciri kejiwaan remaja, tidak stabil, keadaan emosinya goncang, mudah condong kepada ekstrim, sering terdorong, bersemangat, peka, mudah tersinggung, dan perhatiannya terpusat pada dirinya.

2. Alasan-alasan yang umum untuk berpacaran selama masa remaja yakni:

a. Hiburan, apabila berkencan dimaksudkan untuk hiburan, remaja menginginkan agar pasanganya mempunyai berbagai keterampilan sosial yang dianggap penting oleh kelompok sebaya, yaitu sikap baik hati dan menyenangkan.

b. Sosialisasi, kalau anggota kelompok sebaya membagi diri dalam pasangan-pasangan kencan, maka laki-laki dan perempuan harus berkencan apabila masih ingin menjadi anggota kelompok dan mengikuti berbagai kegiatan sosial kelompok

c. Status, Berkencan bagi laki-laki dan perempuan, terutama dalam bentuk berpasangan tetap, memberikan status dalam kelompok sebaya, berkencan dalam kondisi demikian merupakan batu loncatan ke status yang lebih tinggi dalam kelompok sebaya.

d. Masa Pacaran dalam pola pacaran, berkencan berperan penting, karena remaja jatuh cinta dan berharap serta merencanakan perkawinan, ia sendiri harus memikirkan sungguh-sungguh masalah keserasian pasangan kencan sebagai teman hidup

e. Pemilihan Teman Hidup Banyak remaja yang bermaksud cepat menikahi memandang kencan sebagai cara percobaan atau usaha untuk mendapatkan teman hidup.

3. kebutuhan remaja itu sendiri adalah:

a. Kebutuhan akan pengendalian diri

b. Kebutuhan akan kebebasan

c. Kebutuhan akan rasa kekeluargaan

d. Kebutuhan akan penerimaan sosial

e. Kebutuhan akan penyesuaian diri

f. Kebutuhan akan agama dan nilai-nilai sosial

4. Berbagai konflik yang sering dialami oleh remaja, yakni:

a. Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dan kebutuhan untuk bebas dan merdeka.

b. Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan kepada orang tua.

c. Konflik antara kebutuhan seks dan kebutuhan agama serta nilai sosial.

d. Konflik antara prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh remaja ketika ia kecil dulu dengan prinsip dan nilai yang dilakukan oleh orang dewasa di lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.

e. Konflik menghadapi masa depan.

5. Untuk tugas-tugas pada perkembangan remaja, William Kay mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut :

a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

b. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mencapai otoritas.

c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individu maupun kelompok.

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.

f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, Prinsip-prinsip atau falsafah hidup (Weltanschauung).

g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan.

Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa. masa ini dapat diperinci lagi menjadi beberapa masa, yaitu sebagai berikut:

a. Masa praremaja (remaja awal)

Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu relatif singkat. masa ini ditandai oleh sifat-sifat negative pada si remaja sehingga seringkali masa ini disebut masa negative dengan gejalanya seperti tidak senang, kurang suka bekerja, pesimisitik, dan sebagainya. Secara garis besar sifat-sifat negative tersebut dapat diringkas, yaitu:

1.negative dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan

2.negative dalam sosial, baik dalam bentuk menarik diri dari masyarakat (negative positif) maupun dalam bentuk agresif terhadap masyarakat (negative aktif).

b. Masa remaja (remaja madya)

Pada masa ini mulai tumbuh dalam diri remaja dorong untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya. pada masa ini, sebagai masa mencari sesuatu yang dapat dipandang menilai, pantas dijunjung tinggi dan di puja-puja sehingga masa ini disebut masa merindu puja (mendewa-dewakan), yaitu sebagai dewa remaja. proses terbentuknya pendirian atau pandangan hidup atau cita-cita hidup itu dapat di pandang sebagai penemuan nilai-nilai kehidupan.

Proses penemuan nilai-nilai kehidupan tersebut adalah pertama, karena tiadanya pedoman, si remaja pedoman, si remaja merindukan sesuatu bayang dianggap bernilai, pantas dipuja walau pun sesuatu yang dipujanya belum mempunyai bentuk tertentu, bahkan seringkali remaja hanya mengetahui bahwa dia menginginkan sesuatu tetapi tidak mengetahui apa yang diinginkannya. Kedua, objek pemujaan itu telah menjadi lebih jelas, yaitu pribadi-pribadi yang dipandang mendukung nilai-nilai tertentu (jadi personifikasi nilai-nilai). Pada anak laki-laki sering aktif meniru, sedangkan pada anak perempuan kebanyakan pasif, mengagumi, dan memujanya dalam khayalan.

c. Masa remaja akhir

Setelah remaja telah ditentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapailah masa remaja akhir dan telah terpenuhilah tugas-tugas perkembangan masa remaja, yaitu menemukan pendirian hidup masuklah individu ke dalam masa dewasa.

d. Masa Usia Kemahasiswaan

Masa usia mahasiswa sebenarnya berumur sekitar 18 sampai 25 tahun. Mereka dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau dewasa madya. Dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup.

Karakteristik perkembangan remaja seiring perkembangan dan pertumbuhan fisik, terjadi pula perubahan dan perkembangan di dalam tubuhnya. kelenjar kanak-kanaknya telah berakhir, berganti dengan kelenjar endokrin yang memproduksi hormon, sehingga menggalakan pertumbuhan organ seks yang tumbuh menuju kesempurnaan.
organ seks menjadi besar disertai dengan kemampuannya untuk melaksanakan fungsinya.

Pada remaja putri terjadi pembesaran payudara dan pembesaran pinggul. di samping itu meningkat pula dengan cepat berat dan tinggi badan. sedangkan pada remaja pria mulai kelihatan (membesar) jakun di lehernya dan suara menjadi sengau / besar. di samping itu bahunya bertambah lebar dan mulai tumbuh bulu di ketiak dan di atas bibir atasnya (kumis). Satu tanda kematangan seksual dengan jelas pada remaja putri tetapi hanya diketahui oleh yang bersangkutan saja, yaitu terjadinya datang bulan / haid dan pada remaja putera mimpi basah. Tanda-tanda permulaan kematangan seksual tidak berarti bahwa secara langsung terjadi kemampuan reproduksi.

Beberapa Penyimpangan atau Kenakalan Remaja:

1. Seks bebas di kalangan remaja, yang bisa menyebabkan terjangkitnya penyakit AIDS.

2. Kecanduan akan Narkoba yang menyebakan kematian dan AIDS

3. Kecanduan Alkohol / minuman keras.

4. Tawuran.

5. Sering berkunjung ke diskotik.

6. Menjajakan diri kepada pria hidung belang.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menyimpang Pada Remaja:

1. Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan bimbingan tentang nilai-nilai agama).

2. Sikap perilaku orangtua yang buruk terhadap anak.

3. Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir).

4. Diperjualbelikannya minuman keras/obat-obatan terlarang secara bebas.

5. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok.

6. Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno.

7. Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga).

8. Perceraian orangtua.

9. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol.

10. Hidup menganggur.

11. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang.

12. Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang memperhatikan nilai-nilai moral).

2. Gagasan

Sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional memikirkan tentang pendidikan media kepada siswa sekolah dasar hingga SMU. dalam hal ini, penulis berpendapat sudah saatnya pendidikan media sebagai kurikulum mata pelajaran wajib.

3. Tujuan dan Manfaat

Dengan dimilikinya kemampuan melek media pada siswa, maka proses pembelajaran sepanjang hidup dari media akan dapat dijalaninya dengan baik. Siswa yang media literate juga akan mampu menyusun isi pesan media dengan dasar pemahaman terhadap karakteristik masing-masing media yang cukup kuat. sekolah-sekolah lebih memiliki keleluasaan dalam memodifikasi proses pembelajaran, diharapkan segera berinisiatif dalam merespon perkembangan media yang sangat pesat dalam kaitan dengan akses anak-anak terhadap media tersebut, setidaknya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu pendidikan media perlu diterapkan pada remaja sehingga dapat mengimbangi perkembangan media yang begitu pesat.

B. TELAAH PUSTAKA

1. Landasan Teori dan Konsep

Teori Kultivasi melihat kontribusi terhadap konsepsi realitas sosial bukan sebagai proses penekanan satu arah, melainkan sebagai proses gravitasional dengan sudut pandang dan arah daya tarik yang bergantung pada tempat kelompok pemirsa dan gaya hidup mereka sejajar dengan referensi garis gravitasi, mainstream dunia televisi. Jadi, kultivasi adalah proses interaksi di antara pesan, audiens, dan konteks, yang terus berlangsung, kontinyu, dan dinamis (Bryant, J & D Zillmann : 2002).

Tiga konsep penting (yang dimodifikasi dalam pelbagai varian) digunakan dalam penelitian-penelitian media efek, yaitu:

1) Media Violence, atau kekerasan di media. Yang dimaksud adalah isi media yang mengandung unsur kekerasan. Bisa berupa unsur kekerasan yang terdapat dalam film, televisi, berita. dll. Pada level individu, yang diteliti adalah terpaan isi media yang mengandung kekerasan pada individu.

2) Violence didefinisikan Gerbner (1972) sebagai ‘the overt expression of physical force against others or self, or the commpelling action against one’s will on pain of being hurt or killed."

3) Aggressive Behavior, didefinisikan Berelson (1973) sebagai "inflicting bodily harm to other and damage to property."

2. Pendapat Terdahulu

Penelitian tentang pengaruh televisi pada khalayak salah satunya dilakukan oleh Gabner. Awalnya Garbner melakukan penelitian tentang “indikator budaya” pada pertengahan tahun 60-an, untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton TV itu? Dapat dikatakan penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada dampak.

3. Pemecahan Masalah Yang Pernah dilakukan

Adalah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang pada tahun 2002 memulai sebuah proyek percontohan ‘Pembelajaran Melek Media’. Model ini diujicobakan pada Sekolah Dasar Negeri Johar Baru 01 Pagi, Jakarta Pusat. Sebelum melaksanakan model pertama ini, YKAI melakukan pelatihan terhadap para guru yang nantinya akan mengajarkan materi ini. Pelatihan tersebut bertujuan untuk mempersiapkan guru, agar dapat maksimal dalam mengajarkan pendidikan melek media terhadap anak didik.

Selain itu, agar proses pendidikan melek media di sekolah dapat berjalan seiring dengan pendidikan di rumah, diadakan seminar bagi orangtua murid tentang pendidikan melek media.

Seminar tersebut bermaksud untuk menyampaikan pentingnya pendidikan melek media diajarkan di sekolah dan di rumah. Melalui hal tersebut diharapkan kerjasama dan dukungan orangtua.

C. METODE PENULISAN

Penulisan dilakukan dengan sistematika metode teknis penulisan karya tulis, dan data di kumpulkan melalui buku-buku yang terdapat di perpustakaan universitas, pinjaman dengan teman dari universitas lain, serta browsing di internet untuk mendapatkan informasi-informasi yang di butuhkan.

D. ANALISIS DAN SINTESIS

1. Analisis

Permulaan abad 21 menandakan perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Pendidikan media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orang-orang dari dampak negatif media.

Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai melek media.

Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan medianya. Kanada merupakan negara yang terutama mewajibkan melek media di kawasan Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan media dilakukan karena rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika.

Konsep pendidikan melek media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978. Pada saat itu berdirilah Association for Media Literacy (AML), sebagai lembaga yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan melek media di negara tersebut.

Kemudian Amerika Serikat, yang merupakan negara tetangga Kanada, juga akhirnya menyadari pentingnya terdapat pendidikan melek media di negaranya. Apalagi dampak negatif yang timbul akibat media (terutama televisi) sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri.

Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal dukungan serta kurikulumnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pengalaman untuk mengembangkan pendidikan melek media di Amerika Serikat.

Analisis teori kultivasi merupakan satu bagian dari program penelitian yang berkesinambungan, terus menerus yang dilakukan dalam jangka panjang. Penelitian itu diantaranya:

1. Schramm, Lyle dan Parker (1961), mendiskusikan sejumlah contoh kekerasan imitatif dan sumber berita yang disiarkan pada 1950. Mereka berargumen bahwa hubungan yang kentara antara terpaan adegan kekerasan di TV dengan imitasi kejahatan dan kekerasan bukanlah faktor kebetulan belaka.

2. Lieber, Sprafkin, dan Davidson (1981), melacak peran Pokja Senat yang dipimpin oleh Senator Estes Kefauver untuk Juvenile Delinquency (mempertanyakan perlu tidaknya adegan kekerasan di televisi). Kendati gagal menetapkan konsensus seputar efek-efek kekerasan di televisi, riset ini menyiratkan prioritas untuk mengadakan studi tentang efek terpaan media terhadap perilaku agresif.

3. George Gerbner (1972), melakukan studi analisis isi dan menemukan bahwa acara TV yang diputar pada jam-jam utama (prime time) berisi 8 contoh kekerasan setiap jamnya. Diantara penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efek terpaan media televisi pada khalayak, adalah efek media violence. Salah satunya yang dilakukan oleh Huesmann & Eron (1986). Mereka meneliti anak-anak yang diterpa siaran televisi sejak usia 8 tahun sampai 30 tahun. Metode yang digunakan yaitu panel suvei, dan ternyata diperoleh hasil bahwa mereka yang menonton acara kekerasan di TV pada level tertinggi saat anak-anak lebih cenderung terlibat kejahatan serius ketika dewasa.

4. Zillman (1991), mengemukakan teori exitation transfer yang memperkenalkan properti arousal inducing pada media violence untuk memahami intensitas reaksi emosional setelah menonton. Hasilnya, seorang penonton bangkit rasa marahnya setelah diterpa media violence. Arousal atau bangkitnya rasa marah ini dapat ditransfer pada kemarahan yang sesungguhnya, bahkan mengintensifkan hingga menambah kecenderungan berperilaku agresif.

5. di indonesia sendiri, tingkat kenakalan remaja meningkat,seperti genk motor, video porno yang mencapai 500 video pertahun, perilaku sex bebas dan masih banyak lagi.

2. Sintesis

Titik berat materi Mata Pelajaran Pendidikan Media ditekankan pada media televisi mengingat media ini paling banyak diakses oleh anak-anak. Pokok bahasan yang diajarkan adalah:

1) Mengapa melek media penting?

2) Jenis-jenis acara televisi.

3) Fungsi dan pengaruh iklan.

4) Karakteristik televisi.

5) Dampak menonton televisi.

6) Menonton TV dan kegiatan lain.

7) Memilih acara televisi yang baik.

8) Televisi sebagai sumber belajar

Setelah siswa mendapatkan pembelajaran mengenai melek media dengan fokus pada televisi (bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis), maka diharapkan para siswa:

1) Dapat memahami dan mengapresiasi program yang ditonton

2) Menyeleksi jenis acara yang ditonton

3) Tidak mudah terkena dampak negatif acara televisi

4) Dapat mengambil manfaat dari acara yang ditonton.

5) Pembatasan jumlah jam menonton

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Terlepas dari pro-kontra masalah dampak media massa terhadap penonton, dalam kasus di Indonesia kita seyogyanya lebih bijaksana dalam menyikapi. Memang diperlukan penelitian lebih banyak dalam konteks Indonesia, mengingat penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan lebih banyak di Amerika Serikat dan Eropa.

Bukannya kita terlampau menyederhanakan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial dalam memicu perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman traumatik. Tapi, kalaupun peniruan modus operandi kriminalitas dianggap berlebihan, tentu saja efek kriminalitas di televisi tetap perlu diwaspadai ketika muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan.

Desensitisasi kekerasan, atau penumpulan kepekaan terhadap kekerasan merupakan gejala yang umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Maka, tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap realitas media tak beda dengan realitas nyata (prespektif kultivasi), perilaku kekerasan pun disahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah kiranya yang terjadi akhir-akhir ini pada masyarakat Indonesia, lihatlah bagaimana masyarakat ramai-ramai menghakimi pelaku kriminalitas. Memukuli maling sampai mati, membakar hidup-hidup orang yang dicurigai sebagai perampas ojek (yang ternyata bukan pelaku sesungguhnya), mengarak dan menggunduli (belum termasuk penyiksaan fisik) anggota masyarakat yang dicurigai melakukan perselingkuhan, dan sebagainya.

Tampaknya apa yang dikemukakan oleh Baran dan McQuail tentang teori masyarakat massa, tengah berlangsung di Indonesia. Di mana masyarakat mudah dipengaruhi, media mempunyai kekuatan yang besar, sedangkan media banyak berperan disfungsional. News judgement banyak ditinggalkan oleh media kita demi mengejar rating dan prestise yang bermuara pada satu tujuan "keuntungan".

Media tidak lagi bijaksana dan lupa bahwa mereka adalah institusi sosial yang punya tanggung jawab menjaga tatanan sosial, mendidik masyarakat, bukan sekadar memberikan informasi. tetapi tidak mendidik.

Mengacu kepada pendapat Peter Beroer dan Thomas Luckmann tentang realitas sosial sebagai sebuah konstruksi sosial, adalah benar bahwa kekerasan adalah sebuah realitas sosial. Jika media berkilah bahwa mereka hanva menyampaikan realitas yang ada.

Mereka juga lupa bahwa apa vang mereka lakukan dengan menayangkan beragam tindak kekerasan dengan frekuensi yang sering, mereka berinteraksi dengan khalayak, dan ini dapat mengkonstruksi realitas sosial yang baru, kekerasan-kekerasan yang baru.

Media mengangkat realitas kekerasan tetapi juga menciptakan realitas kekerasan. Namun yang menyedihkan adalah. bahwa terdapat kecenderungan bahwa media menciptakan kekerasan yang baru, dengan kekuatan mereka melalui isi dan kemasan pesan yang ditayangkan. Apakah hal ini disadari atau tidak, tapi terkadang ini juga menjadi sebuah dilema ketika media dihadapkan pada tujuan utamanya sebagai lembaga bisnis.

Untuk merespon perkembangan media yang sangat pesat dalam kaitan dengan akses remaja terhadap media tersebut, setidaknya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.

Sudah saatnya pendidikan media perlu diterapkan pada remaja sehingga dapat mengimbangi perkembangan media yang begitu pesat.

2. Saran

Dari uraian di atas, Len Masterman (Masterman dalam Kubey, 2001) mengidentifikasi tiga cara nyata untuk memasukkan muatan pendidikan media antar kurikulum:

1) Guru-guru diharapkan dapat menggunakan materi-materi yang terkait dengan mata pelajaran yang ditampilkan di media untuk menjadikan kegiatan belajar-mengajar lebih menarik, relevan dan up-to-date. Misalnya, dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang demokrasi. Demokrasi terkait dengan proses pemilihan umum. Guru dapat mengambil contoh kampanye yang ditampilkan di televisi melalui iklan-iklan poitik. Siswa diajak untuk secara aktif menyadari bahwa apa yang mereka pelajari di kelas, juga ditampilkan di media. Tapi tidak hanya sebatas itu. Guru juga harus memberikan pemahaman kepada siswa bahwa apa pun yang ditampilkan di media terutama televisi, telah melewati sebuah proses produksi yang di dalamnya ada aktivitas seleksi dan konstruksi realita. Ada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai kelompok tertentu yang termuat di dalamnya. Jika siswa telah memahami hal-hal tersebut, maka diharapkan mereka bisa menggunakan informasi-informasi yang tersebar di media secara lebih bijaksana dan kritis.

2) Ketergantungan guru dan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap buku pegangan sangatlah besar. Padahal siswa akan lebih tertarik pada penjelasan materi pelajaran menggunakan media lain selain buku pegangan. Penggunaan contoh-contoh mengenai suatu topik hendaknya tidak terpaku pada contoh-contoh yang ada di buku pegangan. Tapi dapat diambil dari informasi media yang sering di akses oleh siswa, dalam hal ini televisi. Bila guru mau sedikit saja lebih aktif untuk menggunakan media-media lain selain buku pegangan, siswa akan semakin terdorong untuk mengeluarkan kemampuan mereka dalam menggunakan media. Dari situ dapat terlihat kemampuan mereka mengambil, memilah dan memaknai informasi yag mereka dapatkan dari media. Guru diharapkan cepat tanggap terhadap hal ini, supaya bila ada murid yang kurang kritis menggunakan media, dapat memperoleh pengarahan, agar di lain waktu siswa tersebut dapat menggunakan informasi dari media dengan lebih baik.

3) Guru dari setiap mata pelajaran harus memiliki kerangka berpikir kritis terhadap isi media yang akan digunakan di dalam kelas. Guru harus memberikan perhatian serius akan dampak dari representasi media populer terhadap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Guru juga harus sadar betul bahwa siswa biasanya tidak menggunakan media (televisi) seperti menggunakan buku pegangan. Siswa menonton televisi lebih sebagai sarana melepaskan ketegangan dan mendapatkan kesenangan. Risikonya adalah siswa tidak menyadari bahwa di balik tayangan-tayangan yang menarik dan menyenangkan itu ada begitu banyak miskonsepsi, prasangka, stereotip dan asumsi-asumsi mengenai hal-hal lain yang belum tentu benar. Dampak inilah yang harus diperhitungkan oleh guru. Ketika guru masuk kelas untuk mengajar, perlu disadari bahwa pikiran siswa bukanlah pikiran kosong yang tidak mengerti apa-apa. Di dalam pikiran siswa telah tertanam pengetahuan mengenai banyak hal yang tentunya siswa dapatkan dari televisi. Tugas gurulah untuk meluruskan hal-hal yang salah atau melenceng dari seharusnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar